VISI DAN MISI MUHAMMAD ARBAYANTO
KANDIDAT KETUA UMUM PB HMI PERIODE 2013 – 2015
Visi :
“Mengembalikan Performa dan Marwah Organisasi HMI Sebagai Mata Air
Perkaderan Kepemimpinan Perjuangan Umat dan Bangsa”
Misi:
1.
Rekonstruksi Kelembagaan HMI Menjadi Organisasi Modern;
2.
Rekonstruksi dan Revitalisasi Perkaderan HMI;
3.
Revitalisasi gerakan perjuangan HMI.
Landasan Konseptual
Daniel Bell
melalui bukunya “The Coming of Post-Industrial Society”
(1973) telah memberikan pemahaman baru konstruksi tatanan masyarakat dunia masa
kini. Dengan menggunakan model sosiologi “klasik”, sejarah masyarakat di
kelompokan pada masa-masa tertentu, yaitu Masa Berburu/Pengumpul, Masa
Pertanian/tradisional, dan Masa Industri. Klasifikasi tersebut berubah dengan
karakteristik kekinian yang lebih relevan merujuk pada perubahan-perubahan
sosial baru. Pengklasifikasian baru ini dikemukakan oleh Bell, dimana
masyarakat dikelompokan menjadi tiga kelompok, Masyarakat Agraris, Masyarakat
Industri dan Masyarakat Pasca Industri (Post Industri). Masyarakat Pasca
Industri ini ditandai dengan perkembangan atau revolusi industri yang
melahirkan penemuan-penemuan baru dibidang teknologi informasi, maka dari itu
masyarakat Pasca Industri ini sering dikatakan sebagai Masyarakat Informasi
Pasca Industri. Memasuki era pasca industri dunia tengah berjuang menuju
situasi di mana masyarakat dunia harus siap menghadapi relasi sosial yang
tercipta akibat ruang dan waktu telah dimampatkan oleh teknologi informasi,
komunikasi dan transportasi.
Berbagai isu
dunia yang bersifat global telah terintegrasi menjadi isu nasional di setiap
negara. Isu HAM, gender, lingkungan hidup hingga terorisme menjadi persoalan
penting. Semua itu melupakan satu fakta fenomena baru dunia mengenai relasi
ideologi terhadap kekuasaan dan bagaimana peran negara/state saat ini dalam membentuk tatanan masyarakat. Kenyataannya
tidak ada satu pemimpin-pun di dunia saat ini yang dapat mencapai puncak
kekuasaan dan mempertahankannya jika tidak dapat mempertahankan “hubungan baik”
dengan kelompok pemilik modal. Para pemilik modal tersebut memiliki jaringan
bisnis yang biasa disebut Multinational
Corporate (MNC). Pergerakan MNC seringkali menjadi persoalan tersendiri
bagi penguasa dalam mengendalikan situasi sosial yang seringkali berakhir
dengan jatuhnya wibawa pemerintahan sehingga menjungkalkan penguasa dari kursi
kekuasaannya. Tumbangnya rezim Orde Baru merupakan bukti nyata betapa relasi
kekuasaan menjadi determinan dengan kelompok ekonomi dalam membangun stabilitas
kekuasaan. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa masyarakat pasca industri
ditandai dengan berkurangnya peran negara dalam membentuk tatanan masyarakat,
karena negara harus mampu membentuk sinergitas yang harmonis dengan dunia
pemilik modal yang pergerakannya mampu melakukan konsolidasi lintas negara
secara massif karena perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan
transportasi.
Globalisasi
dan perkembangan ilmu pengetahuan telah mendorong dunia pada situasi ketika peradaban
tidak bisa lagi topang semata-mata dengan pranata sosial lama. Realitas
masyarakat pasca insdustri adalah upaya beberapa pemikir sosial untuk
mendefinisikan tatanan sosial yang tengah berubah ini. Mungkin banyak
terminologi baru yang dimunculkan oleh kalangan pemikir dalam berbagai view zaman. Relasi negara dan masyarakat
juga tidak dapat dilepaskan dari perubahan tersebut. Pada masa feodal di mana
raja sebagai sentral kekuasaan dalam mengambil kebijakannya lebih banyak
dipengaruhi oleh kepribadiannya dan para penasehat. Sehingga relasi negara dan
masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh sentrum raja dan lingkungan di sekitar
raja. Memasuki era nation state (negara
bangsa) dengan model republikan, relasi negara dan masyarakat lebih ditentukan
pada sentrum politik dan kelompok cendikiawan. Terjadi pergeseran yang luar
biasa ketika dunia memasuki era pasca industri yang ditandai dengan
perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. Globalisasi
menjadikan peradaban manusia masa lalu, di mana persoalan ruang, waktu dan
batas teritorial nation state kini
bukanlah kendala untuk manusia dapat menjalankan aktivitas dan akses informasi
secara cepat dan akurat. Variabel yang mempengaruhi negara dalam melakukan
penataan terhadap masyarakat juga bertambah. Selain variabel politik dan
kelompok cendikiawan kini ada variabel baru yakni kelompok ekonomi (kaum
pemodal).
HMI dalam
sejarah perjuangannya membentuk “masyarakat cita” selalu beriringan dengan
peran negara. Hal ini sesuai dengan doktrin nilai landasan perjuangannya dalam
Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP). Dalam bab VI (Keadilan Sosial dan Keadilan
Ekonomi), paragraf empat ternyatakan bahwa:
“Negara
adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan
masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama
berkewajiban menegakkan keadilan. Maksud semula dan fundamental daripada
didirikannya negara dan pemerintah ialah guna melindungi manusia yang menjadi
warga negara daripada kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri
sebagai manusia sebaliknya setiap orang mengambil bagian pertanggungjawaban
dalam masalah-masalah atas dasar persamaan yang diperoleh melalui demokrasi”
Melalui
kutipan NDP di atas jelas bahwa doktrin utama perjuangan HMI adalah merebut dan
mempertahankan dominasi negara dalam membentuk “masyarakat cita” merupakan
pilihan strategis perjuangan. Rancang strategis model perjuangan tersebut
berangkat dari “keyakinan sosial” dan “keyakinan intelektual” bahwa negara/state merupakan bentuk paling mapan dari
tatanan sosial. Negara dianggap sebagai pranata sosial stabil yang mampu
menjamin berlangsungnya penataan masyarakat. Tidak heran jika dalam peran
perjuangannya, kader HMI lebih banyak mencurahkan energi dan potensi dirinya
pada upaya untuk menguasai atau sekedar mempengaruhi peran-peran pengambilan
kebijakan negara dalam pemerintahan. Pada kelanjutannya model perjuangan
tersebut seringkali disebut dengan pola perjuangan secara struktural dan
kultural. Dimana perjuangan struktural lebih diarahkan pada upaya untuk merebut
peran kebijakan itu sendiri, sehingga dalam bahasa awam biasa disebut politik
kekuasaan. Sementara perjuangan kultural lebih diarahkan pada upaya untuk
mempengaruhi atau bahkan membentuk kelompok penekan terhadap pembentuk
kebijakan, yang terakhir ini seringkali disebut dengan model perjuangan politik
intelektual atau gerakan.
Kembali pada
tujuan HMI sebagaimana disebutkan secara tekstual melalui pasal 4 Anggaran
Dasar HMI yang berbunyi:
“Terbinanya
insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggungjawab
atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu wata’ala”
Tantangan
perjuangan saat ini adalah bagaimana HMI tetap mampu memainkan peran strategis
dalam situasi zaman pasca industri. Situasi zaman di mana negara/state sudah tidak dapat lagi menjadi
aktor dominan yang menentukan arah masyarakat harus dibentuk. Pada satu sisi
negara menjadi lemah dalam memainkan peran Ideological
State Aparatus dalam membentuk konsepsi ideologis kepada masyarakatnya,
karena perkembangan media komunikasi informasi semakin maju sehingga masuknya
arus nilai-nilai kehidupan baru dapat secara langsung dikonsumsi secara luas
oleh masyarakat tanpa dapat lagi dicegah oleh negara. Negara juga tidak dapat
lagi secara leluasa untuk mempergunakan secara leluasa instrumen Repressif State Aparatus ketika
mengantisipasi dan menindak masuknya kekuatan-keuatan ideologis yang dianggap
berlawanan dan membahayakan konsep ideologi negara. Penggunaan instrumen
tersebut secara sembarangan hanya akan menuai kecaman dunia internasional
dengan alasan pelanggaran Hak-Hak Asasi Manusia yang saat ini memang menjadi soft tool bagi negeri-negeri kuat dunia
dalam “menjaga dunia” dari tindakan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia.
Situasi kekinian tersebut sejatinya telah memposisikan Pancasila sebagai
ideologi dasar NKRI tengah dalam posisi terancam pada level stadium akhir. Karena
saat ini media massa yang dikuasai oleh kelompok pemilik modal secara aktif
telah ikut ambil bagian untuk mengkampanyekan budaya pop secara luar biasa.
Cita-cita ideologi mereka adalah membentuk masyarakat dunia yang
hedonis-materialistis sehingga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap
pasar. Terbentuknya masyarakat konsumtif dunia merupakan “cita-cita luhur”
kapitalisme di masa depan. Dan itu semua tentu berlawanan secara diamtrikal
dengan cita-cita luhur HMI sebagaimana telah digariskan melalui pasal 4
Anggaran Dasar HMI.
Setidaknya
ada tiga tema besar yang harus dikerjakan HMI sebagai agenda strategis untuk
mempersiapkan dan merekonstruksi organisasi HMI agar siap di masa depan untuk
tampil kembali menjadi pemain utama zaman. Pertama adalah isu kelembagaan HMI
dengan asumsi dasar bahwa dunia yang semakin bergerak cepat membutuhkan
kelembagaan organisasi yang juga dapat bergerak secara cepat, terukur, terencana,
terkontrol dan terevaluasi secara baik dan akurat. Kedua adalah isu perkaderan,
memberikan penekanan kepada asumsi dasar bahwa HMI adalah organisasi perkaderan
di mana core bussines HMI tentunya
adalah upaya untuk selalu menyediakan dan melahirkan personaliti yang siap
dalam menghadapi tantangan dan situasi zaman yang telah berubah. Ketiga adalah
isu gerakan yang terkait erat dengan peran HMI sebagai organisasi perjuangan,
di mana HMI dituntut untuk membangun konstruksi gerakan dengan desain dan isue
strategis sehingga dalam peran perjuangannya, HMI selalu tampil pada sisue-isue
high politics.
Ø Rekonstruksi Kelembagaan HMI Menjadi Organisasi Modern
HMI di masa
lalu mewakili suatu cita organisasi kemahasiswaan yang dapat mendefinisikan
posisinya sebagai organisasi modern. Visi konsepsional yang definitif melalui
NDP dan tujuannya dalam Anggaran Dasar, memposisikan HMI sebagai generasi awal
organisasi kemahasiswaan yang mampu membangun visi dan cita masa depan secara
baik. Struktur organisasi yang merepresentasikan kebutuhan kerja dengan
pendekatan manajemen dan rentang kendali organisasi, merupakan prestasi penting
bagi HMI untuk disebut sebagai organisasi modern. Hal ini semakin sempurna
dengan dibentuknya sistem perkaderan berjenjang dengan kurikulum yang lengkap
menunjukkan bahwa HMI memiliki desain serius terkait dengan fungsinya sebagai
organisasi perkaderan kepemimpinan umat dan bangsa. Namun demikian, seiring
dengan perkembangan zaman di mana dinamika progresifitas sosial ditopang
mobilitas fisik individu masyarakat pasca industri. Setiap organisasi sosial
dituntut untuk mampu melakukan diversifikasi fungsi organisasi secara spesifik
dan akurat agar pergerakannya menjadi terukur.
Tulang
punggung modernisme adalah gerakan positifisme disetiap dimensi kehidupan.
Sementara kata kunci positifisme adalah pendefinisian, keterukuran dan
keteramalan. Melalui semangat positifisme, dimensi organisasi harus dapat
mendefinisikan visi organisasi dan membangun keterukuran capaian kinerja agar
dapat membangun proyeksi perencanaan secara akurat. Dengan demikian organisasi
dapat meramalkan situasi zaman dan bagaimana posisinya dalam situasi tersebut,
menjadi aktor utama atau hanya sebagai penyerta kereta sejarah. Demikian juga
dengan HMI, dia harus mampu membangun perspektif dan proyeksi dirinya kini dan
masa depan. Secara kelembagaan diperlukan beberapa instrumen penting agar HMI
dapat dianggap sebagai organisasi modern di masa kini dan bukan organisasi
modern di masa lalu lagi. Instrumen-instrumen tersebut adalah:
1.
Instrumen pengendali organisasi.
Struktur
kekuasaan dan struktur kepemimpinan HMI merupakan landasan dasar bagi HMI untuk
secara prinsip melakukan pengendalian organisasi. Namun demikian jika tidak
dilengkapi dengan instrumen teknis berupa rambu-rambu dan aturan main, maka
implementasi rentang kendali organisasi tersebut hanya dilandaskan pada norma
etik kekuasaan dan bahkan dapat bergerak liar seiring dengan dinamika politik
kekuasaan di organisasi yang tidak konstruktif dan bernilai guna. Petunjuk
Pelaksana dan petunjuk teknis (Juklak dan Juknis) beserta aturan-aturan
spesifik lainnya menjadi penting guna mengkanalisasikan persoalan yang biasanya
bersifat politis menjadi persoalan organisasi yang hanya bersifat
adminsitratif. Hal ini penting guna menghindarkan HMI dari perdebatan dan
dinamika yang melelahkan sehingga berdampak terhadap energi dan potensi
organisasi untuk merumuskan agenda strategis umat dan bangsa. Konflik cabang dan
komisariat serta tumpang tindih kerja antar bidang dapat diatasi dengan
instrumen pengendalian organisasi yang spesifik dan detil.
2.
Instrumen pengukuran kinerja.
Melalui
struktur kepengurusan yang rapi, HMI mampu mendistribusikan fungsi kerja
organisasi dalam mencapai cita-cita kepemimpinan organisasi. Diperlukan juga
instrumen pengukuran kinerja kepengurusan agar didapat rasio kuantitatif yang
menunjukkan seberapa besar capaian kinerja kepemimpinan organisasi baik secara
parsial bidang maupun secara akumulatif organisasi. Melalui instrumen
pengukuran kinerja akan dapat diukur berapa rasio kesenjangan antara rencana
kerja dan realisasinya secara spesifik. Dengan adanya instrumen pengukuran
kinerja, organisasi dapat lebih mudah untuk mendefinisikan problem-problem
kepemimpinan secara cepat dan akurat dalam masa kerja berjalan maupun membuat
evaluasi dan proyeksi kerja ke depannya. Banyak variabel yang dapat
dipergunakan untuk mengukur kinerja kepengerusan secara komprehensif yang
tentunya tetap dengan paradigma HMI sebagai organisasi kemahasiswaan yang
fungsi dan perannya sebagai organisasi perkaderan sekaligus organisasi perjuangan.
3.
Indeks Pembangunan Organisasi (IPO)
HMI sebagai
organisasi yang besar seringkali menghadapi kendala dalam mengkonstruksi dan
mengevaluasi kondisi kelembagaan dalam setiap level kepemimpinannya. Situasi
tersebut menjadi kebutuhan yang urgent
ketika HMI menghadapi pertanyaan besar sejauh mana HMI telah membangun diri dan
seberapa penting HMI saat ini bagi umat dan bangsa. Jawaban yang muncul
terhadap pertanyaan tersebut seringkali hanya bersifat opini kualitatif dan
justru melahirkan perdebatan seru baik di internal maupun eksternal, baik pada
tingkatan kader aktif (yunior) maupun kader purnabakti (senior). Diperlukan
instrumen kuantitatif untuk mengukur kinerja kepemimpinan setidaknya dalam tiga
dimensi penting organisasi HMI; kelembagaan, perkaderan dan gerakan.
Secara
kelembagaan HMI harus dapat menghitung rasio komprehensif antara visi besar
organisasi, rencana program kerja, kinerja dan capaian kerja. Hasil
penghitungan dengan melibatkan beberapa variabel penting akan menghasilkan
angka spesifik rasio kesenjangan antara rencana kerja dan capaian kerja
organisasi. Secara perkaderan IPO lebih dipusatkan kepada kinerja kepemimpinan
HMI dalam melaksanakan agenda-agenda perkaderan dan capaian out-putnya secara
kuantitatif. Rasio pemetaan jumlah kader terhadap postur ideal kecukupan kader
berdasarkan jenjang training formal, rasio jumlah kader terhadap jumlah trainer
dan instruktur serta rasio pelaksanaan agenda kerja perkaderan baik secara
formal maupun informal terhadap standar kinerja perkaderan secara nasional.
Khusus untuk IPO Perkaderan, diperlukan instrumen kurikulum pelaksanaan minimum informal training yang harus
dilaksanakan guna memenuhi rasio kinerja perkaderan nasional. Sementara IPO
gerakan lebih ditekankan pada rasio kinerja organisasi dalam mengintegrasikan
visi besar organisasi dalam bentuk agenda strategis perjuangan dengan
memaksimalkan potensi-potensi kelembagaannya.
Ø Rekonstruksi dan Revitalisasi Perkaderan HMI
HMI pada dasarnya telah memiliki basis sistem
perkaderan yang rapi dan berkualitas. Namun setelah mengalami masa kemapanan
politik dalam rentang waktu yang begitu lama, kepemimpinan HMI mengalami
distorsi makna terhadap konsep dan filosofi perkaderan itu sendiri. Kejumudan
organisasi dalam jangka waktu yang panjang telah melemparkan budaya perkaderan
pada mitos-mitos dan nostalgia perkaderan berupa monumen figur-figur besar
kader HMI yang tampil dalam pentas kepemimpinan aktif nasional. Sementara
situasi dunia telah berubah sama sekali, kader HMI masih terjebak dalam sistem
perkaderan yang sudah tidak sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Pada sisi
lain, infrastruktur organisasi yang juga dimitoskan, semacam trainer dan
instruktur/master tidak lagi begitu diperhatikan.
Sebagian besar ‘anggota’ HMI tidak lagi
menganggap proses perkaderan sebagai bagian penting dan linear dengan garis
perjuangan. Hal ini dapat dilihat dari keseriusan ‘anggota’ HMI dalam memahami,
menghayati dan mengikuti jenjang perkaderan formal dan informal HMI. Pemahaman
tentang filosofi dan konsep-konsep perkaderan kini hanya menjadi wawasan
eksklusif para pelaku perkaderan (baca: instruktur). Tidak sedikit juga kader
yang mengikuti jenjang perkaderan formal hanya sekedar formalitas sehingga
tidak jarang terjadi benturan dan konflik antara pelaku perkaderan dengan
‘anggota’ HMI yang terlalu ‘bersemangat’ mengikuti training formal. Pemahaman
yang minim tentang makna perkaderan HMI dan tuntutan linear jenjang perkaderan
dan konteks perjuangan sehingga jenjang perkaderan formal masuk dalam kriteria
administratif jenjang struktural kepemimpinan organisasi. Mungkin karena itu
seringkali banyak ‘anggota’ HMI yang ‘nekat’ untuk mengikuti jenjang perkaderan
formal HMI meskipun dengan bekal kapasitas yang seringkali belum ‘mencukupi’. Sehingga
yang terjadi banyak calon peserta training memaksa instruktur untuk
‘diperkenankan’ mengikuti training formal pada tingkat intermediate dan atau
advance.
Situasi ini semakin diperparah dengan sikap
kepemimpinan struktural HMI di hampir setiap tingkat yang kurang ‘lugas’ dalam
membangun program-program perkaderan. Seringkali program perkaderan hanya
menjadi formalitas pelaksanaan program kerja perkaderan atau bahkan dianggap
sebagai gengsi dengan menambahkan kata ‘nasional’ atau ‘regional’ untuk
menunjukkan kelas program kerja. Namun demikian, pedoman perkaderan meletakkan
sistem perkaderan pada basis peningkatan kualitas personaliti menisbatkan bahwa
kematangan kader adalah melalui training formal dan training informal. Sehingga
seyogyanya jika kepemimpinan HMI di setiap tingkat menyadari bahwa formal
training tidak cukup untuk membentuk kematangan kader, diperlukan juga informal
training dengan porsi keseriusan yang sama dengan formal training. Kekacauan
ini semakin serius dan sempurna karena banyak struktur kepemimpinan HMI yang
juga tidak memahami perbedaan kurikulum formal training dan informal training
sehingga seringkali disatukan dalam satu paket formal training. Berakibat
rusaknya tatanan konseptual sistem perkaderan HMI, dengan masuknya
materi-materi informal training dalam list perkaderan formal training.
Kerusakan itu nyaris sempurna dengan pengelolaan training secara teknis yang
seringkali keluar dari kaidah-kaidah standar training yang berkualitas.
Kondisi ini menyebabkan infrastruktur
perkaderan menjadi semakin aus, di sisi lain budaya perkaderan HMI semakin
meluncur dalam situasi yang tidak sehat. Kematangan kader hanya diukur secara
struktural dan operasional sistem perkaderan hanya menjadi legitimasi menuju
kematangan struktural tersebut. Sehingga tidak jarang sistem perkaderan hanya
menjadi determinan bagi struktur kepemimpinan. Jumlah instruktur dan trainer
yang semakin minim sementara up-grade terhadap paradigma perkaderan juga selalu
gagal dilakukan. Terkhusus untuk isue terakhir perkaderan adalah quota jumlah
instruktur dan trainer terhadap jumlah anggota HMI di setiap tingkat
kepemimpinan HMI, tengah mengalami penurunan yang serius. Jika disepakati bahwa
keberlanjutan HMI berada dipunggung agenda perkaderan, maka instruktur dan
trainer adalah tulang punggung perkaderan. Maka jika jumlah instruktur dan
trainer dari hari ke hari quotanya semakin tidak proporsional, maka usia HMI
semakin dapat diprediksikan. Jumlah quota juga harus linear dengan kualitas dan
kapasitas instruktur/trainer yang juga harus memadai.
Hal yang juga tidak kalah penting dalam isue
perkaderan HMI adalah kesiapan HMI untuk mempersiapkan rekayasa genetika
perkaderan dalam mempersiapkan kepemimpinan umat dan bangsa ketika zaman sudah
berubah sama sekali. Visi untuk membentuk masyarakat cita dengan meletakkannya
pada agenda strategis memperkuat dominasi negara tampaknya tengah mengalami
tantangan yang juga tidak kalah serius. Jika pada masa lalu agenda strategis
memperkuat negara diupayakan oleh HMI dengan memenuhi sektor kecendikiawanan,
birokrat, teknokrat dan politisi, maka kini sektor baru civil society menuntut HMI untuk turut pula menyediakan kader-kader
berkualitas pada sektor kelompok pelaku ekonomi. Sebetulnya tanda-tanda zaman
itu sudah mulai muncul seiring dengan arus reformasi yang menumbangkan rezim
orde baru. Kemapanan politik turut menyebabkan ketelodaran HMI dalam menangkap
tanda-tanda zaman tersebut. Akibatnya dalam sistem perkaderan HMI masih
dikonstruksikan dalam rencana strategis perjuangan pembentukan masyarakat cita
di masa lalu. Dalam kondisi seperti ini hampir bisa dipastikan bahwa HMI belum
tuntas dalam mengartikulasikan visi masa depan yang kemudian teragregasikan
dalam instrumen perkaderan sebagai perencanaan strategis perjuangan pembentukan
masyarakat cita. Jika itu yang terjadi maka HMI akan tertinggal jauh dibelakang
kereta zaman yang semakin cepat bergerak maju ke depan.
Ada tiga agenda strategis HMI untuk melakukan
penyehatan dan revitalisasi sistem perkaderan agar rekonstruksi perkaderan HMI
dapat berjalan normal.
1. Penyehatan
kondisi infrastruktur perkaderan.
Target dari agenda ini adalah semakin meningkatnya jumlah trainer/instruktur/
master perkaderan HMI secara kuantitatif dan kualitatif. Sejatinya organisasi
perkaderan semacam HMI harus menyandarkan operasional kerjanya pada
aparat-aparat perkaderan yang profesional bergerak dalam dunia perkaderan. Jika
diibaratkan lembaga pendidikan, maka sebetulnya HMI adalah sekolah perkaderan
kepemimpinan, di mana trainer/instruktur/master adalah para pelaku
pendidikannya. Kualitas pelaku pendidikan menjadi penentu terhadap kualitas
out-put dari sistem pendidikan itu sendiri. Selain kualitas, rasio kecukupan
jumlah pelaku pendidikan tentunya harus proporsional dengan jumlah peserta
didik itu sendiri. Artinya, tantangan infrastruktur perkaderan HMI saat ini
lebih pada seberapa mampu HMI untuk menyediakan kualitas dan kuantitas pelaku
perkaderan sehingga dapat memastikan output perkaderan HMI menjadi berkualitas.
Tidak kalah pentingnya lagi, pelaku perkaderan sejatinya juga merangkap menjadi
aparat ideologisasi organisasi. Sehingga kualitas yang dimiliki oleh aparat
ideologisasi organisasi menjadi penentu terhadap kualitas pemahaman ideologis
kader baik secara konsepsional maupun operasional.
2. Penertiban
kinerja perkaderan nasional.
Kacaunya sistem perkaderan HMI yang diakibatkan model perkaderan
yang determinan terhadap model perkaderan struktural, menyebabkan operasionalisasi
desain perkaderan HMI mengalami disfungsi kronis. Seringkali agenda perkaderan
menjadi tidak penting dan bahkan tidak menjadi tujuan utama berdirinya struktur
organisasi dalam setiap level kepemimpinan. Penertiban kinerja perkaderan lebih
diorientasikan kepada terbentuknya regulasi baku perkaderan dengan sistem
pengendalian dan kontrol secara pasti dan melembaga. Namun regulasi
pengendalian dan kontrol pelaksanaan perkaderan secara nasional tersebut lebih
berdimensi pembinaan, artinya porsi kewajiban PB HMI untuk memberikan
kebijakan-kebijakan yang bersifat affirmatif terhadap kepemimpinan HMI yang
dipandang ‘lemah’ secara kinerja perkaderan akan lebih diutamakan.
3. Up Grade
paradigma pedoman perkaderan.
Melalui pedoman perkaderan yang ada saat ini, HMI mendefinisikan
cita perkaderannya dalam dua semangat perjuangan menuju masyarakat cita.
Kelompok perkaderan kecendikiawanan dan kelompok perkaderan politik merupakan
model perjuangan yang selama ini menjadi basis orientasi kader HMI.
Pengelompokan tersebut dimaksudkan untuk menyederhanakan dalam rangka
memudahkan pemetaan paradigma perkaderan HMI selama ini. Paradigma tersebut
terintegrasi secara nyata dan menjadi bagian dari ruh doktrinal HMI melalui instrumen
kurikulum perkaderan. Up grade paradigma perkaderan dimaksudkan untuk membentuk
persepsi baru bahwa dalam konteks perjuangan mewujudkan masyarakat cita, HMI
harus mampu menyediakan kualitas baru perkaderan guna mengisi sektor baru dunia
yakni kelompok kader yang bergerak di sektor ekonomi.
Ø Revitalisasi gerakan perjuangan HMI.
Kondisi dunia telah mengalami
perkembangan positif setelah periode 1989, karena dengan kemajuan dan
kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, telah terjadi hubungan, kontak
dan interaksi yang lebih intensif antara kawasan di dunia. Dengan kecenderungan
baru ini, telah terjadi globalisasi ekonomi dan globalisasi teknologi
komunikasi yang dapat menghubungkan dengan cepat hampir ke seluruh pelosok
dunia dalam waktu singkat. Dunia saat ini memiliki berbagai macam isu global
yang penyampaian permasalahannya kepada publik dimulai oleh kelompok Negara
maju, yang kemudian dijadikan isu dunia. Apa yang terjadi setelah Perang Dunia
II dan akibat ‘kekalahan’ komunisme di Eropa tahun 1989, dunia mengalami
berbagai perubahan dan pembaharuan dalam hubungan antar bangsa maupun dalam hal
peran manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Isu global itu sendiri
tampaknya menggarisbawahi pandangan Barat yang lebih member perhatian dan
perlindungan terhadap hak dan kepentingan individu daripada kepentingan
masyarakat maupun Negara.
Akibatnya,
isu global yang muncul saat ini adalah untuk mengatur sejauhmana hak individu
agar dapat dihormati dan dilindungi oleh kewenangan Negara dan Pemerintah. Isu
global itu sendiri sebenarnya tidak selamanya mendatangkan kemanfaatan bagi
Negara sedang berkembang, karena penerapan isu global pada hakekatnya lebih
banyak disesuaikan dengan falsafah kehidupan bangsa yang sudah maju, khususnya
bangsa Barat.
HMI sebagai
organisasi perjuangan harus mampu membangun citra dirinya sebagai organisasi gerakan.
Mengartikulasikan cita-cita masa depan (memory
of future) merupakan agenda utama gerakan mahasiswa hari ini. Penyegaran
kembali terhadap aktifitas gerakannya dengan inovasi gerakan merupakan langkah
sederhana guna mencapai visi besar gerakan. HMI harus turut tergugah untuk
membangun ide besar tentang mimpi yang setinggi-tingginya, karena jika HMI
tanpa visi maka kadernya juga tidak akan jelas arah geraknya, visi tanpa aksi
hanya mimpi-mimpi yang dapat terealisasi.
Dalam
konteks gerakan HMI harus memiliki blue print gerakan perjuangan yang disusun
dari aspek konsepsional hingga pada perangkat teknis. Dengan adanya blue print
gerakan, HMI akan terhindar dari gerakan-gerakan perjuangan yang sporadis dan
reaktif. Selama ini HMI terjebak pada model gerakan yang berbasis pada isu-isu
politik day to day, sehingga hanya
bersifat momentum dan rawan penunggangan. Gerakan HMI seringkali “kejar tayang”
karena diburu oleh momen politik. Bahkan tidak jarang HMI hanya menari dalam alunan
“musik” orang lain karena pada dasarnya gerakan HMI selama ini tidak lahir dari
gagasan original HMI yang berdimensi strategis dan high politics. Terlalu banyak agenda strategis keumatan yang lepas
dari radar gagasan perjuangan HMI selama ini. Salah satunya adalah isu pangan.
Pangan merupakan bagian dari sendi-sendi kesejahteraan rakyat Indonesia.
“Pangan merupakan soal mati-hidupnya
suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”;
oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner
(Ir. Soekarno)”.
Peringatan
Presiden Soekarno diatas mengenai pangan sebagai variabel vital terhadap hidup
dan matinya suatu Bangsa memang sangat nyata. Rendahnya ketersediaan pangan
mengakibatkan bencana kelaparan di berbagai negara di penjuru belahan dunia.
Kelaparan sebagai indikasi tindasan terhadap hak atas pangan masih berlangsung
di mana-mana bahkan bertambah buruk saja. Persoalan pangan bagi bangsa
indonesia, dan juga bangsa – bangsa lainnya di dunia ini adalah merupakan
persoalan yang sangat mendasar, dan sangat menentukan nasib dari suatu bangsa,
karena ketergantungan pangan dapat berarti terjadinya terbelenggunya
kemerdekaan bangsa dan rakyat terhadap suatu kelompok, baik negara lain maupun
kekuatan – kekuatan ekonomi lainnya. Oleh karena itu, apabila persoalan
kedaulatan pangan ini tidak ditindaklanjuti dengan serius oleh pemerintah dan
pihak-pihak terkait maka akan menjadi ‘malapetaka’ bagi masyarakat dan juga
Negara karena kedaulatan pangan memegang peranan hidup dan matinya suatu
bangsa.
Himpunan
Mahasiswa Islam selaku organisasi perjuangan yang mendefinisikan dirinya
sebagai bagian dari umat dan bangsa Indonesia, seyogyanya jika ikut ambil
bagian dalam isu pangan. Diperlukan upaya besar bagi seluruh komponen bangsa
ini untuk terlibat dalam aksi nyata perlindungan terhadap kedaulatan pangan
Indonesia. HMI sebagai organisasi yang memiliki kader yang militan dan dikenal
memiliki gagasan-gagasan brilian dalam mengangkat harkat dan martabat umat
Islam harus mampu terlibat secara aktif dalam upaya tersebut.
Penutup
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (QS 13;11).”
Dalam konteks kekinian posisi HMI masih dianggap
signifikan untuk diperhitungkan secara strategis baik dalam lingkup dunia
kemahasiswaan maupun pada ruang ke-Ummatan (Bangsa dan Negara). Namun demikian,
secara sadar fungsi dan peran HMI kini tengah mendapat kritik yang cukup serius
oleh banyak kalangan terutama kader HMI sendiri. Kondisi ini mengimplikasikan
suatu ambiguitas eksistensi bagi institusi, di satu sisi institusi ini masih
menjadi institusi besar yang cukup signifikan untuk diperhitungkan dan di sisi
lainnya eksistensi institusi justru disangsikan terutama oleh kader-kadernya
sendiri. Situasi tersebut berjalan seiring waktu mengindikasikan besarnya ruang
ambiguitas tersebut. Melalui visi kepemimpinan ini, kami berharap HMI ke depan
mampu untuk terlibat secara aktif dan kembali tampil dengan gagasan besar
terhadap bagaimana kepentingan nasional diidentifikasi, terdefinisikan dan
diperjuangkan secara penuh, tulus dan ikhlas, semata-mata untuk kemajuan umat
dan bangsa, serta dalam rangka ibadah kita kepada Allah SWT. Beriman, berilmu
dan beramal, YAKIN USAHA SAMPAI. Insya Allah.