Kamis, 14 Februari 2013

VISI DAN MISI HMI



VISI DAN MISI MUHAMMAD ARBAYANTO
KANDIDAT KETUA UMUM PB HMI PERIODE 2013 – 2015

Visi :
“Mengembalikan Performa dan Marwah Organisasi HMI Sebagai Mata Air Perkaderan Kepemimpinan Perjuangan Umat dan Bangsa”
Misi:
1.        Rekonstruksi Kelembagaan HMI Menjadi Organisasi Modern;
2.        Rekonstruksi dan Revitalisasi Perkaderan HMI;
3.        Revitalisasi gerakan perjuangan HMI.

Landasan Konseptual
Daniel Bell melalui bukunya “The Coming of Post-Industrial Society” (1973) telah memberikan pemahaman baru konstruksi tatanan masyarakat dunia masa kini. Dengan menggunakan model sosiologi “klasik”, sejarah masyarakat di kelompokan pada masa-masa tertentu, yaitu Masa Berburu/Pengumpul, Masa Pertanian/tradisional, dan Masa Industri. Klasifikasi tersebut berubah dengan karakteristik kekinian yang lebih relevan merujuk pada perubahan-perubahan sosial baru. Pengklasifikasian baru ini dikemukakan oleh Bell, dimana masyarakat dikelompokan menjadi tiga kelompok, Masyarakat Agraris, Masyarakat Industri dan Masyarakat Pasca Industri (Post Industri). Masyarakat Pasca Industri ini ditandai dengan perkembangan atau revolusi industri yang melahirkan penemuan-penemuan baru dibidang teknologi informasi, maka dari itu masyarakat Pasca Industri ini sering dikatakan sebagai Masyarakat Informasi Pasca Industri. Memasuki era pasca industri dunia tengah berjuang menuju situasi di mana masyarakat dunia harus siap menghadapi relasi sosial yang tercipta akibat ruang dan waktu telah dimampatkan oleh teknologi informasi, komunikasi dan transportasi.
Berbagai isu dunia yang bersifat global telah terintegrasi menjadi isu nasional di setiap negara. Isu HAM, gender, lingkungan hidup hingga terorisme menjadi persoalan penting. Semua itu melupakan satu fakta fenomena baru dunia mengenai relasi ideologi terhadap kekuasaan dan bagaimana peran negara/state saat ini dalam membentuk tatanan masyarakat. Kenyataannya tidak ada satu pemimpin-pun di dunia saat ini yang dapat mencapai puncak kekuasaan dan mempertahankannya jika tidak dapat mempertahankan “hubungan baik” dengan kelompok pemilik modal. Para pemilik modal tersebut memiliki jaringan bisnis yang biasa disebut Multinational Corporate (MNC). Pergerakan MNC seringkali menjadi persoalan tersendiri bagi penguasa dalam mengendalikan situasi sosial yang seringkali berakhir dengan jatuhnya wibawa pemerintahan sehingga menjungkalkan penguasa dari kursi kekuasaannya. Tumbangnya rezim Orde Baru merupakan bukti nyata betapa relasi kekuasaan menjadi determinan dengan kelompok ekonomi dalam membangun stabilitas kekuasaan. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa masyarakat pasca industri ditandai dengan berkurangnya peran negara dalam membentuk tatanan masyarakat, karena negara harus mampu membentuk sinergitas yang harmonis dengan dunia pemilik modal yang pergerakannya mampu melakukan konsolidasi lintas negara secara massif karena perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan telah mendorong dunia pada situasi ketika peradaban tidak bisa lagi topang semata-mata dengan pranata sosial lama. Realitas masyarakat pasca insdustri adalah upaya beberapa pemikir sosial untuk mendefinisikan tatanan sosial yang tengah berubah ini. Mungkin banyak terminologi baru yang dimunculkan oleh kalangan pemikir dalam berbagai view zaman. Relasi negara dan masyarakat juga tidak dapat dilepaskan dari perubahan tersebut. Pada masa feodal di mana raja sebagai sentral kekuasaan dalam mengambil kebijakannya lebih banyak dipengaruhi oleh kepribadiannya dan para penasehat. Sehingga relasi negara dan masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh sentrum raja dan lingkungan di sekitar raja. Memasuki era nation state (negara bangsa) dengan model republikan, relasi negara dan masyarakat lebih ditentukan pada sentrum politik dan kelompok cendikiawan. Terjadi pergeseran yang luar biasa ketika dunia memasuki era pasca industri yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. Globalisasi menjadikan peradaban manusia masa lalu, di mana persoalan ruang, waktu dan batas teritorial nation state kini bukanlah kendala untuk manusia dapat menjalankan aktivitas dan akses informasi secara cepat dan akurat. Variabel yang mempengaruhi negara dalam melakukan penataan terhadap masyarakat juga bertambah. Selain variabel politik dan kelompok cendikiawan kini ada variabel baru yakni kelompok ekonomi (kaum pemodal).
HMI dalam sejarah perjuangannya membentuk “masyarakat cita” selalu beriringan dengan peran negara. Hal ini sesuai dengan doktrin nilai landasan perjuangannya dalam Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP). Dalam bab VI (Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi), paragraf empat ternyatakan bahwa:
“Negara adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama berkewajiban menegakkan keadilan. Maksud semula dan fundamental daripada didirikannya negara dan pemerintah ialah guna melindungi manusia yang menjadi warga negara daripada kemungkinan perusakan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia sebaliknya setiap orang mengambil bagian pertanggungjawaban dalam masalah-masalah atas dasar persamaan yang diperoleh melalui demokrasi”
Melalui kutipan NDP di atas jelas bahwa doktrin utama perjuangan HMI adalah merebut dan mempertahankan dominasi negara dalam membentuk “masyarakat cita” merupakan pilihan strategis perjuangan. Rancang strategis model perjuangan tersebut berangkat dari “keyakinan sosial” dan “keyakinan intelektual” bahwa negara/state merupakan bentuk paling mapan dari tatanan sosial. Negara dianggap sebagai pranata sosial stabil yang mampu menjamin berlangsungnya penataan masyarakat. Tidak heran jika dalam peran perjuangannya, kader HMI lebih banyak mencurahkan energi dan potensi dirinya pada upaya untuk menguasai atau sekedar mempengaruhi peran-peran pengambilan kebijakan negara dalam pemerintahan. Pada kelanjutannya model perjuangan tersebut seringkali disebut dengan pola perjuangan secara struktural dan kultural. Dimana perjuangan struktural lebih diarahkan pada upaya untuk merebut peran kebijakan itu sendiri, sehingga dalam bahasa awam biasa disebut politik kekuasaan. Sementara perjuangan kultural lebih diarahkan pada upaya untuk mempengaruhi atau bahkan membentuk kelompok penekan terhadap pembentuk kebijakan, yang terakhir ini seringkali disebut dengan model perjuangan politik intelektual atau gerakan.
Kembali pada tujuan HMI sebagaimana disebutkan secara tekstual melalui pasal 4 Anggaran Dasar HMI yang berbunyi:
“Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah Subhanahu wata’ala”
Tantangan perjuangan saat ini adalah bagaimana HMI tetap mampu memainkan peran strategis dalam situasi zaman pasca industri. Situasi zaman di mana negara/state sudah tidak dapat lagi menjadi aktor dominan yang menentukan arah masyarakat harus dibentuk. Pada satu sisi negara menjadi lemah dalam memainkan peran Ideological State Aparatus dalam membentuk konsepsi ideologis kepada masyarakatnya, karena perkembangan media komunikasi informasi semakin maju sehingga masuknya arus nilai-nilai kehidupan baru dapat secara langsung dikonsumsi secara luas oleh masyarakat tanpa dapat lagi dicegah oleh negara. Negara juga tidak dapat lagi secara leluasa untuk mempergunakan secara leluasa instrumen Repressif State Aparatus ketika mengantisipasi dan menindak masuknya kekuatan-keuatan ideologis yang dianggap berlawanan dan membahayakan konsep ideologi negara. Penggunaan instrumen tersebut secara sembarangan hanya akan menuai kecaman dunia internasional dengan alasan pelanggaran Hak-Hak Asasi Manusia yang saat ini memang menjadi soft tool bagi negeri-negeri kuat dunia dalam “menjaga dunia” dari tindakan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia. Situasi kekinian tersebut sejatinya telah memposisikan Pancasila sebagai ideologi dasar NKRI tengah dalam posisi terancam pada level stadium akhir. Karena saat ini media massa yang dikuasai oleh kelompok pemilik modal secara aktif telah ikut ambil bagian untuk mengkampanyekan budaya pop secara luar biasa. Cita-cita ideologi mereka adalah membentuk masyarakat dunia yang hedonis-materialistis sehingga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pasar. Terbentuknya masyarakat konsumtif dunia merupakan “cita-cita luhur” kapitalisme di masa depan. Dan itu semua tentu berlawanan secara diamtrikal dengan cita-cita luhur HMI sebagaimana telah digariskan melalui pasal 4 Anggaran Dasar HMI.
Setidaknya ada tiga tema besar yang harus dikerjakan HMI sebagai agenda strategis untuk mempersiapkan dan merekonstruksi organisasi HMI agar siap di masa depan untuk tampil kembali menjadi pemain utama zaman. Pertama adalah isu kelembagaan HMI dengan asumsi dasar bahwa dunia yang semakin bergerak cepat membutuhkan kelembagaan organisasi yang juga dapat bergerak secara cepat, terukur, terencana, terkontrol dan terevaluasi secara baik dan akurat. Kedua adalah isu perkaderan, memberikan penekanan kepada asumsi dasar bahwa HMI adalah organisasi perkaderan di mana core bussines HMI tentunya adalah upaya untuk selalu menyediakan dan melahirkan personaliti yang siap dalam menghadapi tantangan dan situasi zaman yang telah berubah. Ketiga adalah isu gerakan yang terkait erat dengan peran HMI sebagai organisasi perjuangan, di mana HMI dituntut untuk membangun konstruksi gerakan dengan desain dan isue strategis sehingga dalam peran perjuangannya, HMI selalu tampil pada sisue-isue high politics.

Ø  Rekonstruksi Kelembagaan HMI Menjadi Organisasi Modern
HMI di masa lalu mewakili suatu cita organisasi kemahasiswaan yang dapat mendefinisikan posisinya sebagai organisasi modern. Visi konsepsional yang definitif melalui NDP dan tujuannya dalam Anggaran Dasar, memposisikan HMI sebagai generasi awal organisasi kemahasiswaan yang mampu membangun visi dan cita masa depan secara baik. Struktur organisasi yang merepresentasikan kebutuhan kerja dengan pendekatan manajemen dan rentang kendali organisasi, merupakan prestasi penting bagi HMI untuk disebut sebagai organisasi modern. Hal ini semakin sempurna dengan dibentuknya sistem perkaderan berjenjang dengan kurikulum yang lengkap menunjukkan bahwa HMI memiliki desain serius terkait dengan fungsinya sebagai organisasi perkaderan kepemimpinan umat dan bangsa. Namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman di mana dinamika progresifitas sosial ditopang mobilitas fisik individu masyarakat pasca industri. Setiap organisasi sosial dituntut untuk mampu melakukan diversifikasi fungsi organisasi secara spesifik dan akurat agar pergerakannya menjadi terukur.
Tulang punggung modernisme adalah gerakan positifisme disetiap dimensi kehidupan. Sementara kata kunci positifisme adalah pendefinisian, keterukuran dan keteramalan. Melalui semangat positifisme, dimensi organisasi harus dapat mendefinisikan visi organisasi dan membangun keterukuran capaian kinerja agar dapat membangun proyeksi perencanaan secara akurat. Dengan demikian organisasi dapat meramalkan situasi zaman dan bagaimana posisinya dalam situasi tersebut, menjadi aktor utama atau hanya sebagai penyerta kereta sejarah. Demikian juga dengan HMI, dia harus mampu membangun perspektif dan proyeksi dirinya kini dan masa depan. Secara kelembagaan diperlukan beberapa instrumen penting agar HMI dapat dianggap sebagai organisasi modern di masa kini dan bukan organisasi modern di masa lalu lagi. Instrumen-instrumen tersebut adalah:
1.        Instrumen pengendali organisasi.
Struktur kekuasaan dan struktur kepemimpinan HMI merupakan landasan dasar bagi HMI untuk secara prinsip melakukan pengendalian organisasi. Namun demikian jika tidak dilengkapi dengan instrumen teknis berupa rambu-rambu dan aturan main, maka implementasi rentang kendali organisasi tersebut hanya dilandaskan pada norma etik kekuasaan dan bahkan dapat bergerak liar seiring dengan dinamika politik kekuasaan di organisasi yang tidak konstruktif dan bernilai guna. Petunjuk Pelaksana dan petunjuk teknis (Juklak dan Juknis) beserta aturan-aturan spesifik lainnya menjadi penting guna mengkanalisasikan persoalan yang biasanya bersifat politis menjadi persoalan organisasi yang hanya bersifat adminsitratif. Hal ini penting guna menghindarkan HMI dari perdebatan dan dinamika yang melelahkan sehingga berdampak terhadap energi dan potensi organisasi untuk merumuskan agenda strategis umat dan bangsa. Konflik cabang dan komisariat serta tumpang tindih kerja antar bidang dapat diatasi dengan instrumen pengendalian organisasi yang spesifik dan detil.
2.        Instrumen pengukuran kinerja.
Melalui struktur kepengurusan yang rapi, HMI mampu mendistribusikan fungsi kerja organisasi dalam mencapai cita-cita kepemimpinan organisasi. Diperlukan juga instrumen pengukuran kinerja kepengurusan agar didapat rasio kuantitatif yang menunjukkan seberapa besar capaian kinerja kepemimpinan organisasi baik secara parsial bidang maupun secara akumulatif organisasi. Melalui instrumen pengukuran kinerja akan dapat diukur berapa rasio kesenjangan antara rencana kerja dan realisasinya secara spesifik. Dengan adanya instrumen pengukuran kinerja, organisasi dapat lebih mudah untuk mendefinisikan problem-problem kepemimpinan secara cepat dan akurat dalam masa kerja berjalan maupun membuat evaluasi dan proyeksi kerja ke depannya. Banyak variabel yang dapat dipergunakan untuk mengukur kinerja kepengerusan secara komprehensif yang tentunya tetap dengan paradigma HMI sebagai organisasi kemahasiswaan yang fungsi dan perannya sebagai organisasi perkaderan sekaligus organisasi perjuangan.
3.        Indeks Pembangunan Organisasi (IPO)
HMI sebagai organisasi yang besar seringkali menghadapi kendala dalam mengkonstruksi dan mengevaluasi kondisi kelembagaan dalam setiap level kepemimpinannya. Situasi tersebut menjadi kebutuhan yang urgent ketika HMI menghadapi pertanyaan besar sejauh mana HMI telah membangun diri dan seberapa penting HMI saat ini bagi umat dan bangsa. Jawaban yang muncul terhadap pertanyaan tersebut seringkali hanya bersifat opini kualitatif dan justru melahirkan perdebatan seru baik di internal maupun eksternal, baik pada tingkatan kader aktif (yunior) maupun kader purnabakti (senior). Diperlukan instrumen kuantitatif untuk mengukur kinerja kepemimpinan setidaknya dalam tiga dimensi penting organisasi HMI; kelembagaan, perkaderan dan gerakan.
Secara kelembagaan HMI harus dapat menghitung rasio komprehensif antara visi besar organisasi, rencana program kerja, kinerja dan capaian kerja. Hasil penghitungan dengan melibatkan beberapa variabel penting akan menghasilkan angka spesifik rasio kesenjangan antara rencana kerja dan capaian kerja organisasi. Secara perkaderan IPO lebih dipusatkan kepada kinerja kepemimpinan HMI dalam melaksanakan agenda-agenda perkaderan dan capaian out-putnya secara kuantitatif. Rasio pemetaan jumlah kader terhadap postur ideal kecukupan kader berdasarkan jenjang training formal, rasio jumlah kader terhadap jumlah trainer dan instruktur serta rasio pelaksanaan agenda kerja perkaderan baik secara formal maupun informal terhadap standar kinerja perkaderan secara nasional. Khusus untuk IPO Perkaderan, diperlukan instrumen kurikulum pelaksanaan minimum informal training yang harus dilaksanakan guna memenuhi rasio kinerja perkaderan nasional. Sementara IPO gerakan lebih ditekankan pada rasio kinerja organisasi dalam mengintegrasikan visi besar organisasi dalam bentuk agenda strategis perjuangan dengan memaksimalkan potensi-potensi kelembagaannya.

Ø  Rekonstruksi dan Revitalisasi Perkaderan HMI
HMI pada dasarnya telah memiliki basis sistem perkaderan yang rapi dan berkualitas. Namun setelah mengalami masa kemapanan politik dalam rentang waktu yang begitu lama, kepemimpinan HMI mengalami distorsi makna terhadap konsep dan filosofi perkaderan itu sendiri. Kejumudan organisasi dalam jangka waktu yang panjang telah melemparkan budaya perkaderan pada mitos-mitos dan nostalgia perkaderan berupa monumen figur-figur besar kader HMI yang tampil dalam pentas kepemimpinan aktif nasional. Sementara situasi dunia telah berubah sama sekali, kader HMI masih terjebak dalam sistem perkaderan yang sudah tidak sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Pada sisi lain, infrastruktur organisasi yang juga dimitoskan, semacam trainer dan instruktur/master tidak lagi begitu diperhatikan.
Sebagian besar ‘anggota’ HMI tidak lagi menganggap proses perkaderan sebagai bagian penting dan linear dengan garis perjuangan. Hal ini dapat dilihat dari keseriusan ‘anggota’ HMI dalam memahami, menghayati dan mengikuti jenjang perkaderan formal dan informal HMI. Pemahaman tentang filosofi dan konsep-konsep perkaderan kini hanya menjadi wawasan eksklusif para pelaku perkaderan (baca: instruktur). Tidak sedikit juga kader yang mengikuti jenjang perkaderan formal hanya sekedar formalitas sehingga tidak jarang terjadi benturan dan konflik antara pelaku perkaderan dengan ‘anggota’ HMI yang terlalu ‘bersemangat’ mengikuti training formal. Pemahaman yang minim tentang makna perkaderan HMI dan tuntutan linear jenjang perkaderan dan konteks perjuangan sehingga jenjang perkaderan formal masuk dalam kriteria administratif jenjang struktural kepemimpinan organisasi. Mungkin karena itu seringkali banyak ‘anggota’ HMI yang ‘nekat’ untuk mengikuti jenjang perkaderan formal HMI meskipun dengan bekal kapasitas yang seringkali belum ‘mencukupi’. Sehingga yang terjadi banyak calon peserta training memaksa instruktur untuk ‘diperkenankan’ mengikuti training formal pada tingkat intermediate dan atau advance.
Situasi ini semakin diperparah dengan sikap kepemimpinan struktural HMI di hampir setiap tingkat yang kurang ‘lugas’ dalam membangun program-program perkaderan. Seringkali program perkaderan hanya menjadi formalitas pelaksanaan program kerja perkaderan atau bahkan dianggap sebagai gengsi dengan menambahkan kata ‘nasional’ atau ‘regional’ untuk menunjukkan kelas program kerja. Namun demikian, pedoman perkaderan meletakkan sistem perkaderan pada basis peningkatan kualitas personaliti menisbatkan bahwa kematangan kader adalah melalui training formal dan training informal. Sehingga seyogyanya jika kepemimpinan HMI di setiap tingkat menyadari bahwa formal training tidak cukup untuk membentuk kematangan kader, diperlukan juga informal training dengan porsi keseriusan yang sama dengan formal training. Kekacauan ini semakin serius dan sempurna karena banyak struktur kepemimpinan HMI yang juga tidak memahami perbedaan kurikulum formal training dan informal training sehingga seringkali disatukan dalam satu paket formal training. Berakibat rusaknya tatanan konseptual sistem perkaderan HMI, dengan masuknya materi-materi informal training dalam list perkaderan formal training. Kerusakan itu nyaris sempurna dengan pengelolaan training secara teknis yang seringkali keluar dari kaidah-kaidah standar training yang berkualitas.
Kondisi ini menyebabkan infrastruktur perkaderan menjadi semakin aus, di sisi lain budaya perkaderan HMI semakin meluncur dalam situasi yang tidak sehat. Kematangan kader hanya diukur secara struktural dan operasional sistem perkaderan hanya menjadi legitimasi menuju kematangan struktural tersebut. Sehingga tidak jarang sistem perkaderan hanya menjadi determinan bagi struktur kepemimpinan. Jumlah instruktur dan trainer yang semakin minim sementara up-grade terhadap paradigma perkaderan juga selalu gagal dilakukan. Terkhusus untuk isue terakhir perkaderan adalah quota jumlah instruktur dan trainer terhadap jumlah anggota HMI di setiap tingkat kepemimpinan HMI, tengah mengalami penurunan yang serius. Jika disepakati bahwa keberlanjutan HMI berada dipunggung agenda perkaderan, maka instruktur dan trainer adalah tulang punggung perkaderan. Maka jika jumlah instruktur dan trainer dari hari ke hari quotanya semakin tidak proporsional, maka usia HMI semakin dapat diprediksikan. Jumlah quota juga harus linear dengan kualitas dan kapasitas instruktur/trainer yang juga harus memadai.
Hal yang juga tidak kalah penting dalam isue perkaderan HMI adalah kesiapan HMI untuk mempersiapkan rekayasa genetika perkaderan dalam mempersiapkan kepemimpinan umat dan bangsa ketika zaman sudah berubah sama sekali. Visi untuk membentuk masyarakat cita dengan meletakkannya pada agenda strategis memperkuat dominasi negara tampaknya tengah mengalami tantangan yang juga tidak kalah serius. Jika pada masa lalu agenda strategis memperkuat negara diupayakan oleh HMI dengan memenuhi sektor kecendikiawanan, birokrat, teknokrat dan politisi, maka kini sektor baru civil society menuntut HMI untuk turut pula menyediakan kader-kader berkualitas pada sektor kelompok pelaku ekonomi. Sebetulnya tanda-tanda zaman itu sudah mulai muncul seiring dengan arus reformasi yang menumbangkan rezim orde baru. Kemapanan politik turut menyebabkan ketelodaran HMI dalam menangkap tanda-tanda zaman tersebut. Akibatnya dalam sistem perkaderan HMI masih dikonstruksikan dalam rencana strategis perjuangan pembentukan masyarakat cita di masa lalu. Dalam kondisi seperti ini hampir bisa dipastikan bahwa HMI belum tuntas dalam mengartikulasikan visi masa depan yang kemudian teragregasikan dalam instrumen perkaderan sebagai perencanaan strategis perjuangan pembentukan masyarakat cita. Jika itu yang terjadi maka HMI akan tertinggal jauh dibelakang kereta zaman yang semakin cepat bergerak maju ke depan.
Ada tiga agenda strategis HMI untuk melakukan penyehatan dan revitalisasi sistem perkaderan agar rekonstruksi perkaderan HMI dapat berjalan normal.
1.      Penyehatan kondisi infrastruktur perkaderan.
Target dari agenda ini adalah semakin meningkatnya jumlah trainer/instruktur/ master perkaderan HMI secara kuantitatif dan kualitatif. Sejatinya organisasi perkaderan semacam HMI harus menyandarkan operasional kerjanya pada aparat-aparat perkaderan yang profesional bergerak dalam dunia perkaderan. Jika diibaratkan lembaga pendidikan, maka sebetulnya HMI adalah sekolah perkaderan kepemimpinan, di mana trainer/instruktur/master adalah para pelaku pendidikannya. Kualitas pelaku pendidikan menjadi penentu terhadap kualitas out-put dari sistem pendidikan itu sendiri. Selain kualitas, rasio kecukupan jumlah pelaku pendidikan tentunya harus proporsional dengan jumlah peserta didik itu sendiri. Artinya, tantangan infrastruktur perkaderan HMI saat ini lebih pada seberapa mampu HMI untuk menyediakan kualitas dan kuantitas pelaku perkaderan sehingga dapat memastikan output perkaderan HMI menjadi berkualitas. Tidak kalah pentingnya lagi, pelaku perkaderan sejatinya juga merangkap menjadi aparat ideologisasi organisasi. Sehingga kualitas yang dimiliki oleh aparat ideologisasi organisasi menjadi penentu terhadap kualitas pemahaman ideologis kader baik secara konsepsional maupun operasional.
2.      Penertiban kinerja perkaderan nasional.
Kacaunya sistem perkaderan HMI yang diakibatkan model perkaderan yang determinan terhadap model perkaderan struktural, menyebabkan operasionalisasi desain perkaderan HMI mengalami disfungsi kronis. Seringkali agenda perkaderan menjadi tidak penting dan bahkan tidak menjadi tujuan utama berdirinya struktur organisasi dalam setiap level kepemimpinan. Penertiban kinerja perkaderan lebih diorientasikan kepada terbentuknya regulasi baku perkaderan dengan sistem pengendalian dan kontrol secara pasti dan melembaga. Namun regulasi pengendalian dan kontrol pelaksanaan perkaderan secara nasional tersebut lebih berdimensi pembinaan, artinya porsi kewajiban PB HMI untuk memberikan kebijakan-kebijakan yang bersifat affirmatif terhadap kepemimpinan HMI yang dipandang ‘lemah’ secara kinerja perkaderan akan lebih diutamakan.
3.      Up Grade paradigma pedoman perkaderan.
Melalui pedoman perkaderan yang ada saat ini, HMI mendefinisikan cita perkaderannya dalam dua semangat perjuangan menuju masyarakat cita. Kelompok perkaderan kecendikiawanan dan kelompok perkaderan politik merupakan model perjuangan yang selama ini menjadi basis orientasi kader HMI. Pengelompokan tersebut dimaksudkan untuk menyederhanakan dalam rangka memudahkan pemetaan paradigma perkaderan HMI selama ini. Paradigma tersebut terintegrasi secara nyata dan menjadi bagian dari ruh doktrinal HMI melalui instrumen kurikulum perkaderan. Up grade paradigma perkaderan dimaksudkan untuk membentuk persepsi baru bahwa dalam konteks perjuangan mewujudkan masyarakat cita, HMI harus mampu menyediakan kualitas baru perkaderan guna mengisi sektor baru dunia yakni kelompok kader yang bergerak di sektor ekonomi.

Ø  Revitalisasi gerakan perjuangan HMI.
Kondisi dunia telah mengalami perkembangan positif setelah periode 1989, karena dengan kemajuan dan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, telah terjadi hubungan, kontak dan interaksi yang lebih intensif antara kawasan di dunia. Dengan kecenderungan baru ini, telah terjadi globalisasi ekonomi dan globalisasi teknologi komunikasi yang dapat menghubungkan dengan cepat hampir ke seluruh pelosok dunia dalam waktu singkat. Dunia saat ini memiliki berbagai macam isu global yang penyampaian permasalahannya kepada publik dimulai oleh kelompok Negara maju, yang kemudian dijadikan isu dunia. Apa yang terjadi setelah Perang Dunia II dan akibat ‘kekalahan’ komunisme di Eropa tahun 1989, dunia mengalami berbagai perubahan dan pembaharuan dalam hubungan antar bangsa maupun dalam hal peran manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Isu global itu sendiri tampaknya menggarisbawahi pandangan Barat yang lebih member perhatian dan perlindungan terhadap hak dan kepentingan individu daripada kepentingan masyarakat maupun Negara.
Akibatnya, isu global yang muncul saat ini adalah untuk mengatur sejauhmana hak individu agar dapat dihormati dan dilindungi oleh kewenangan Negara dan Pemerintah. Isu global itu sendiri sebenarnya tidak selamanya mendatangkan kemanfaatan bagi Negara sedang berkembang, karena penerapan isu global pada hakekatnya lebih banyak disesuaikan dengan falsafah kehidupan bangsa yang sudah maju, khususnya bangsa Barat.
HMI sebagai organisasi perjuangan harus mampu membangun citra dirinya sebagai organisasi gerakan. Mengartikulasikan cita-cita masa depan (memory of future) merupakan agenda utama gerakan mahasiswa hari ini. Penyegaran kembali terhadap aktifitas gerakannya dengan inovasi gerakan merupakan langkah sederhana guna mencapai visi besar gerakan. HMI harus turut tergugah untuk membangun ide besar tentang mimpi yang setinggi-tingginya, karena jika HMI tanpa visi maka kadernya juga tidak akan jelas arah geraknya, visi tanpa aksi hanya mimpi-mimpi yang dapat terealisasi.
Dalam konteks gerakan HMI harus memiliki blue print gerakan perjuangan yang disusun dari aspek konsepsional hingga pada perangkat teknis. Dengan adanya blue print gerakan, HMI akan terhindar dari gerakan-gerakan perjuangan yang sporadis dan reaktif. Selama ini HMI terjebak pada model gerakan yang berbasis pada isu-isu politik day to day, sehingga hanya bersifat momentum dan rawan penunggangan. Gerakan HMI seringkali “kejar tayang” karena diburu oleh momen politik. Bahkan tidak jarang HMI hanya menari dalam alunan “musik” orang lain karena pada dasarnya gerakan HMI selama ini tidak lahir dari gagasan original HMI yang berdimensi strategis dan high politics. Terlalu banyak agenda strategis keumatan yang lepas dari radar gagasan perjuangan HMI selama ini. Salah satunya adalah isu pangan. Pangan merupakan bagian dari sendi-sendi kesejahteraan rakyat Indonesia.
“Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner (Ir. Soekarno)”.
Peringatan Presiden Soekarno diatas mengenai pangan sebagai variabel vital terhadap hidup dan matinya suatu Bangsa memang sangat nyata. Rendahnya ketersediaan pangan mengakibatkan bencana kelaparan di berbagai negara di penjuru belahan dunia. Kelaparan sebagai indikasi tindasan terhadap hak atas pangan masih berlangsung di mana-mana bahkan bertambah buruk saja. Persoalan pangan bagi bangsa indonesia, dan juga bangsa – bangsa lainnya di dunia ini adalah merupakan persoalan yang sangat mendasar, dan sangat menentukan nasib dari suatu bangsa, karena ketergantungan pangan dapat berarti terjadinya terbelenggunya kemerdekaan bangsa dan rakyat terhadap suatu kelompok, baik negara lain maupun kekuatan – kekuatan ekonomi lainnya. Oleh karena itu, apabila persoalan kedaulatan pangan ini tidak ditindaklanjuti dengan serius oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait maka akan menjadi ‘malapetaka’ bagi masyarakat dan juga Negara karena kedaulatan pangan memegang peranan hidup dan matinya suatu bangsa.
Himpunan Mahasiswa Islam selaku organisasi perjuangan yang mendefinisikan dirinya sebagai bagian dari umat dan bangsa Indonesia, seyogyanya jika ikut ambil bagian dalam isu pangan. Diperlukan upaya besar bagi seluruh komponen bangsa ini untuk terlibat dalam aksi nyata perlindungan terhadap kedaulatan pangan Indonesia. HMI sebagai organisasi yang memiliki kader yang militan dan dikenal memiliki gagasan-gagasan brilian dalam mengangkat harkat dan martabat umat Islam harus mampu terlibat secara aktif dalam upaya tersebut.

Penutup
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (QS 13;11).”
Dalam konteks kekinian posisi HMI masih dianggap signifikan untuk diperhitungkan secara strategis baik dalam lingkup dunia kemahasiswaan maupun pada ruang ke-Ummatan (Bangsa dan Negara). Namun demikian, secara sadar fungsi dan peran HMI kini tengah mendapat kritik yang cukup serius oleh banyak kalangan terutama kader HMI sendiri. Kondisi ini mengimplikasikan suatu ambiguitas eksistensi bagi institusi, di satu sisi institusi ini masih menjadi institusi besar yang cukup signifikan untuk diperhitungkan dan di sisi lainnya eksistensi institusi justru disangsikan terutama oleh kader-kadernya sendiri. Situasi tersebut berjalan seiring waktu mengindikasikan besarnya ruang ambiguitas tersebut. Melalui visi kepemimpinan ini, kami berharap HMI ke depan mampu untuk terlibat secara aktif dan kembali tampil dengan gagasan besar terhadap bagaimana kepentingan nasional diidentifikasi, terdefinisikan dan diperjuangkan secara penuh, tulus dan ikhlas, semata-mata untuk kemajuan umat dan bangsa, serta dalam rangka ibadah kita kepada Allah SWT. Beriman, berilmu dan beramal, YAKIN USAHA SAMPAI. Insya Allah.